Hadirnya Bank Syariah di Indonesia merupakan upaya negara untuk memfasilitasi masyarakat dalam menjalankan kegiatan transaksi keuangan yang bebas dari riba. Lahirnya Bank Muamalat Indonesia menjadi tonggak awal perkembangan perbankan syariah di Indonesia.
Seiring berjalannya waktu, meningkatnya minat masyarakat terhadap produk dan layanan keuangan syariah, mendorong pemerintah untuk menerbitkan regulasi yang secara spesifik mengatur Bank Syariah. Oleh karena itu pada tahun 2008, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang menjadi landasan hukum utama bagi Bank Syariah di Indonesia.
Selain merujuk kepada peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah, Bank Syariah juga tunduk dan patuh terhadap Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Fatwa berfungsi untuk memberikan panduan atas prinsip-prinsip syariah perbankan. Untuk mamastikan berlakunya prinsip-prinsip Syariah dimaksud maka setiap Bank Syariah wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah yang bertugas melakukan pengawasan atas operasional, produk, pemasaran dan investasi bank.
Berikut beberapa poin penting yang menggambarkan perbedaan antara Bank Syariah dan Bank Konvensional:
Pertama, Akad Sesuai dengan Syariah
Bank Syariah wajib menjalankan produknya menggunakan akad-akad yang sesuai dengan prinsip syariah. Akad merupakan aspek utama, karena di dalam akad terdapat kesepakatan para pihak yang menjadi undang-undang bagi yang membuatnya, hal ini diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang berbicara tentang asas pacta sunt servanda sebagai berikut:
“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undangundang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”.
Akad yang sesuai syariah menjadi dasar terhadap implementasinya. Meskipun bukan berati tidak ada penyimpangan, hanya saja jika dalam impelementasinya Bank tidak menjalankan ketentuan sebagaimana diatur dalam akad maka Bank tersebut dapat dikategorikan wanprestasi yang berakibat kepada adanya kuasa bagi nasabah untuk menggugat pihak bank.
Kedua, Ada Dewan Pengawas Syariah (DPS)
Berbeda dengan Bank Konvensional yang hanya berkwajiban membentuk Dewan Direksi dan Dewan Komisaris, Bank Syariah wajib menambahkan struktur organisasinya berupa DPS. DPS bertugas untuk mengawasi produk, pemasaran, investasi serta operasional Bank agar senantiasa sesuai dengan prinsp-prinsp syariah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Fatwa DSN-MUI. Eksistensi DPS diatur pada Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
“(1) Dewan Pengawas Syariah wajib dibentuk di Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS.”
Ketiga, Keuntungan bukan dari bunga
Sebagai badan usaha yang beorientasi kepada profit, Bank Syariah turut menjalakan aktivitas bisnis yang produktif guna menghasilkan laba. Berbeda dengan Bank Konvensional yang menerpkan sistem bunga, Bank Syariah mengambil keuntungan dari kegiatan yang halal sesuai dengan Fatwa DSN-MUI yaitu, Jual Beli, Sewa-menyewa, Sewa Jasa, dan Kerja Sama. Bank Syariah dilarang untuk mengenakan bunga kepada nasabah pembiayaan maupun memberikan bunga pada nasabah funding (giro, tabungan dan deposito).
Keempat, Bank Syariah mengeluarkan Zakat Perusahaan
Poin terkahir yang membedakan antara Bank Syariah dengan Bank Konvensional yaitu, pembayaran Zakat Perusahaan. Bank Syariah senantiasa menunaikan Zakat Perusahaan atas laba bersih yang diterimanya dalam satu tahun sebesar 2,5%. Pembayaran Zakat Perusahaan ini tentu tidak berlaku bagi Bank Konvensional.
Dowload Artikel: KLIK
Penulis:
Rifqi Abqory Najih, SH., MH.
Founder Abqory Sharia Group, Legal Consultant & Trainer