abqory-sharia-group
Home

DUALISME REGULASI EKONOMI SYARIAH

April, 05 2023 by Abqory Media
img-post

Halo sobat Abqory Media!
Kali ini kami akan mengajak kamu mencari tahu mengenai anggapan adanya dualisme dalam regulasi ekonomi syariah. Penasaran? Yuk simak penjelasan di bawah!

Summary:
1. Bentuk penghambat dalam kasus sengketa ekonomi syariah yaitu ketidakharmonisan aturan yang menjadikannya tumpang tindih dan menyebabkan adanya dualisme aturan.
2. Diperlukan perbaikan dan penyelarasan antara setiap regulasi yang menyangkut ekonomi syariah agar lebih harmonis dalam pengimplementasiannya.

Perkembangan ekonomi dan keuangan syariah Indonesia yang begitu pesat meningkatan potensi sengketa ekonomi syariah. Berdasarkan data perkara ekonomi syariah periode tahun 2018 sampai dengan 2 September 2020, terdapat 676 perkara terkait ekonomi syariah, dengan status 162 perkara dicabut, 446 perkara diputus dan 68 perkara selebihnya masih berjalan (Kamar Agama, Mahkamah Agung, 2020).

Salah satu penghambat dari banyaknya kasus sengketa ekonomi syariah yaitu sering terjadinya perubahan regulasi yang menjadikan hal itu saling berkaitan dan membentuk harmonisasi ataukah justru saling tumpang tindih. Sementara itu dualisme aturan yang sering diartikan dengan anggapan aturan A lebih mengikat dibanding aturan B, atau aturan B lebih mengikat dibanding aturan C oleh masyarakat, juga menjadi salah satu bentuk penghambat. Padahal sebenarnya perbandingan tersebut tidak apple to apple. Contoh dari dualisme aturan yaitu banyak kalangan masyarakat yang mempertanyakan dan membandingkan manakah yang lebih mengikat antara fatwa DSN-MUI, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK), undang-undang, ataukah Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). Hal ini bukanlah bentuk perbandingan apple to apple karena aturan-aturan tersebut sudah memiliki bidangnya masing-masing.

Sobat Abqory Media, Dr. Drs. H. Amran Suadi selaku Ketua Kamar Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam paparannya saat berada dalam forum diskusi mengatakan bahwa masih banyak persoalan regulasi pada sektor-sektor ekonomi dan keuangan syariah, yaitu di antaranya:

  1. Terdapat peraturan yang saling tumpang tindih;
  2. Masih berfokus pada sektor perbankan syariah;
  3. Masih banyak sektor ekonomi dan keuangan syariah yang belum diatur; dan
  4. Perlu adanya sinergi antar lembaga dalam penguatan regulasi pada sektor ekonomi dan keuangan syariah.

Anggapan masyarakat terkait adanya dualisme regulasi ekonomi syariah dan juga yang saling tumpang tindih dikarenakan banyak aturan yang ikut-ikut membahas padahal sebenarnya aturan tersebut bukan termasuk bidangnya, adalah tidak benar. Melainkan regulasi-regulasi tersebut saling mengisi kekosongan hukum satu sama lain.

Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie yang merupakan Ahli Hukum Tata Negara, dalam paparannya juga menyampaikan bahwa pengembangan ekonomi dan keuangan syariah pada aspek regulasi perlu konsep yang kuat, karena sudah banyak undang-undang terkait ekonomi syariah yang telah tersedia. Selain itu, beliau juga menyampaikan perlunya penguatan kelembagaan Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS). Dalam hal ini, adanya Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekonomi Syariah dapat menjadi momentum bagi KNEKS untuk penguatan kelembagaan.

Sehingga RUU Ekonomi Syariah diharapkan dapat menjadi acuan bagi Peraturan tentang Ekonomi dan Keuangan Syariah di Indonesia juga sebagai pendukung terwujudnya kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan dalam pelaksanaan, pengembangan, dan kemajuan ekonomi syariah di Indonesia. Upaya pemulihan atau kuratif antar regulasi (undang-undang, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, POJK, Peraturan Bank Indonesia, KHES, dan fatwa DSN-MUI) juga perlu dilakukan.

Agar Sobat Abqory Media dapat memahami artikel ini dengan lebih baik lagi, selanjutnya akan dijelaskan terkait kedudukan fatwa DSN-MUI, KHES, dan peraturan perundang-undangan sebagai regulasi ekonomi syariah di Indonesia.

Fatwa yang ditetapkan oleh DSN-MUI memiliki sifat yang moderat (tawasuth). Artinya, tidak terlalu berpacu kepada teks ketetapan hukum (nash) dan juga tidak keluar dari pengertian hukum (mafhum al nash) serta mempertimbangkan tingkat kemaslahatan umum (tasahul). Pertimbangan kemaslahatan harus ditentukan dengan jelas dan pasti, sehingga tidak akan mendahulukan kepentingan bisnis dengan melanggar ketentuan nash. Fatwa DSN-MUI berkaitan erat dengan jenis-jenis kegiatan, produk, dan sistem operasional jasa keuangan syariah. Dalam penetapan fatwa ini, DSN-MUI tidak hanya mengeluarkan fatwa secara mandiri namun melibatkan pihak lain yang berkepentingan seperti Bank Indonesia, OJK, pelaku usaha dan para ahli di bidangnya.

Fatwa yang ditetapkan oleh DSN-MUI pada dasarnya bersifat sebagai anjuran dan tidak mengikat. Kepatuhan terhadapnya bisa ditaati atau tidak. Sehingga ketidakpatuhan terhadap fatwa tidak akan mendapat sanksi hukum, hanya sebatas mendapat sanksi sosial. Namun di lain sisi adapun kedudukan fatwa yang bersifat mengikat yaitu ketika fatwa tersebut diadopsi dan dilegitimasi oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Fatwa ini juga bersifat memaksa dan harus ditaati serta bernilai sanksi hukum bagi yang tidak melaksanakannya. Contohnya yaitu jika sebuah Perseroan Terbatas (PT) telah mendeklarasikan sebagai perusahaan syariah, maka PT tersebut harus patuh terhadap fatwa DSN-MUI.

KHES lahir sebagai respon akan lahirnya Undang-Undang No.3 tahun 2006 terkait dengan perubahan atas Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang mencakup perluasan wewenang peradilan agama termasuk dalam penyelesaian di bidang Ekonomi Syariah. KHES dibentuk dengan memperbaharui keseragaman pendapat para ulama yang terdapat dalam kitab-kitab kuning (fikih) dan fatwa DSN-MUI dalam kesederhanaan hukum yang sesuai dengan konteks keIndonesiaan untuk menemukan kepastian hukum di Indonesia.

Terbentuknya KHES merupakan suatu terobosan fikih muamalat dan pembaharu serta menjadi hukum baru yang lahir dari PERMA No. 2 Tahun 2008 berfungsi sebagai rujukan dalam putusan hukum oleh para hakim dalam peradilan agama dan bahan pertimbangan hukum dalam persoalan ekonomi syariah. Hal ini juga menjadi pembeda antara ekonomi syariah dan ekonomi konvensional. Akan tetapi, KHES termasuk peraturan perundang-undangan semu (pseudo wetgeving/beleidsregels) yang tidak termasuk pada peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Perkembangan perbankan syariah diawali dengan munculnya Bank Muamalat Indonesia sekitar tahun 1992 berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagai landasan hukum bank. Kemudian peraturan ini disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-undang ini mengatur dengan rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah serta memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk membuka cabang syariah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank syariah.

Landasan hukum ekonomi syariah di Indonesia semakin diperkokoh dengan keluarnya peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi syariah, antara lain adalah Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 yang memberikan kewenangan bagi Pengadilan Agama untuk menangani perkara sengketa ekonomi syariah, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, dan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Setelah penjelasan mengenai fatwa DSN MUI, KHES dan Peraturan perundang-undangan di atas didapatkan bahwa regulasi-regulasi tersebut memiliki kedudukannya masing-masing. Sehingga adanya anggapan mengenai dualisme dan tumpang tindih tidak benar namun hanya mengisi kekosongan satu sama lain.

Misalnya dalam praktik perbankan syariah yang menitik beratkan kepada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, tetapi dalam implementasinya perlu peraturan-peraturan terkait untuk mendukung hal-hal yang tidak diatur di dalam undang-undang, seperti POJK yang mengisi kekosongan hukum dalam hal praktik akad-akad dalam transaksi perbankan syariah. Di sisi lain, KHES walaupun menggunakan prinsip Islam sebagai sumbernya, tapi tidak bisa dikatakan tumpang-tindih dengan POJK, karena prinsip Islam di POJK adalah fatwa DSN-MUI, sedangkan KHES ialah pembaharuan pendapat-pendapat ulama terdahulu yang digunakan di dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan Agama oleh para hakim.

Disamping dualisme dan tumpang tindih masalah lain pada regulasi ekonomi syariah terletak pada proses harmonisasi hukum terhadap praktiknya yang kerap terjadi kerancuan. Salah satu contohnya adalah adanya ketidaksesuaian antara KHES dan peraturan-peraturan lainnya karena penggunaan istilah yang tidak tepat, seperti tabarru’ diartikan sebagai akad non-tabungan; penggunaan devisa yang sama dengan konsep konvensional. Berdasarkan contoh ini, maka perlu ada perbaikan dan penyelarasan antara setiap regulasi yang menyangkut ekonomi syariah agar lebih harmonis dalam pengimplementasiannya dan tidak ada kesan tumpang tindih serta dualisme aturan.

Langkah strategis yang bisa ditempuh dalam mencapai hal tersebut adalah dengan mewujudkan RUU Ekonomi Syariah agar dapat menjadi payung hukum bagi setiap peraturan terkait ekonomi syariah di Indonesia. Di samping itu senantiasa turut melibatkan semua pengelola kebijakan dalam perumusan regulasi, mengharmonisasikan pada sumber hukum yang ada (fatwa), mensosialisasikan secara intens dalam perumusan regulasinya, mengupayakan upgrading kemampuan dan kompetensi hukum para praktisinya, serta membatasi KHES pada konsep dasar saja.

Semoga bermanfaat dan nantikan artikel dari Abqory Media selanjutnya ya!

Bagikan:

Artikel Terkait