abqory-sharia-group
Home

Islam Dalam Menyikapi Fenomena Uang Muka (Down Payment)

June, 13 2023 by Abqory Media
img-post

Summary:

Down Payment atau uang muka dalam Islam disikapi sebagai tanda keseriusan bertransaksi (hamisy jiddiyah) sehingga dihukumi boleh (jawaz). Untuk sekarang DSN-MUI sudah mengeluarkan Fatwa No. 13/DSN-MUI/IX/2000 sebagai pengatur fenomena uang paksa di dalam akad murabahah.

 

Pasti Sobat Abqory sering mendengar istilah DP (Down Payment) kalau sedang membicarakan atau bahkan tengah melakukan transaksi pembelian, seperti motor atau mobil contohnya. Tapi pernah tidak sih bertanya-tanya soal status DP dalam Islam?

Kalau mau tahu lebih banyak, yuk kita bahas!

 

Mula-mula harus dipahami apa, ‘sih, DP atau Down Payment itu?

 

DP atau jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia disebut sebagai uang muka merupakan pembayaran di awal perjanjian/akad senilai persentase tertentu dari total nilai pembelian objek yang dibayar oleh debitur atau nasabah. Demikian pengertian dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 18/16/PBI/2016.

 

Terus, bagaimana Islam menyikapinya?

 

Dalam ekonomi Islam, ada dua konsep yang dikenal sebagai padanan uang muka, yaitu urbun dan hamisy jiddiyah. 

 

Bedanya apa?

 

Kalau Hamish jiddiyah, uang muka diterima sebelum akad. Apabila terjadi pembatalan, maka uang muka dikembalikan kepada pembeli setelah dikurangi kerugian yang ditanggung oleh penjual akibat pembatalan tersebut. Sementara dalam urbun, uang muka diterima setelah terjadi akad dan apabila terjadi pembatalan, maka uang muka tersebut menjadi hangus dan tidak dikembalikan ke pembeli.

 

Nah, yang disepakati ulama boleh (jawaz) untuk dilakukan adalah hamish jiddiyah, mengingat dalam muamalah semua dibolehkan kecuali ada dalil yang mengharamkan dan dalam setiap hal, risiko harus dihindari.

 

Dalam suatu akad, uang muka dijadikan salah satu tanda keseriusan bertransaksi (hamisy jiddiyah) yang di mana  kalau akad tersebut berlanjut, maka uang muka tadi akan menjadi sebagian harga beli. Namun, jika terjadi pembatalan yang dilakukan oleh debitur maka uang muka akan menjadi pengganti kerugian riil kepada kreditur.

 

Konsep inilah yang kemudian dituangkan di dalam  Fatwa No. 13/DSN-MUI/IX/2000 tentang Uang Muka Dalam Murabahah diterbitkan oleh DSN-MUI lalu.

 

Fatwa tersebut menegaskan, dalam akad pembiayaan murabahah, lembaga keuangan syariah (LKS) dibolehkan untuk meminta uang muka apabila kedua  belah pihak bersepakat. Pun besaran jumlah uang muka juga ditentukan berdasarkan kesepakatan. Bilamana, debtur membatalkan akad murabahah, maka harus memberikan ganti rugi kepada LKS dari uang muka tersebut. Jika jumlah uang muka lebih kecil dari kerugian, LKS dapat meminta tambahan kepada nasabah. Jika jumlah uang muka lebih besar dari kerugian, LKS harus mengembalikan kelebihannya kepada nasabah. 

 

Nah, seperti itu kurang lebih terkait bagaimana Islam menyikapi fenomena uang muka. Semoga semangat belajar Sobat Abqory sekalian terus bertambah, sehingga bisa kita bertemu di lain kesempatan, di lain tulisan!

Bagikan:

Artikel Terkait